PENDAHULUAN
Kebijakan
fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan
pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang
berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan
daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah
output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta
menurunkan output industri secara umum.
Dalam literatur
klasik, terdapat beberapa perbedaan
pandangan mengenai kebijakan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan tiori
klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat
bahwa kebijakan fiskal lebih besar
pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Hal ini didasarkan atas
pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan uang terhadap tingkat bunga
kecil sekali (extrim-nya nol) sehingga kurva IS tegak.
Kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan
perekonomian. Masing–masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal
dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment
expenditure). Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP,
inflasi, kurs, dan suku bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor
– sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor
pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini
memiliki hubungan interaksi masing – masing dalam menciptakan pendapatan dan
pengeluaran.
ISI
1.
Peranan Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi dalam rangka
mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan
mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan
kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal
lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Kebijakan fiskal
yang ekspansif akan menggeser kurva IS ke kanan sehingga output meningkat.
Sedangkan ekspansi moneter dengan penambahan jumlah uang beredar pada kurva IS
yang tetap tidak akan berpengaruh terhadap output. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan fiskal akan lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan moneter.
Pada sektor rumah tangga (RTK), dimana rumah
tangga melakukan pembelian barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan
untuk konsumsi daan mendapatkan pendapatan berupa gaji, upah, sewa, dividen,
bunga, dll dari perusahaan. kegiatan ekonomi dengan Pemerintah adalah rumah
tangga menyetorkan sejumah uang sebagai pajak dan menerima penerimaan berupa
gaji, bunga, penghasilan non balas jasa, dll. Sedangkan dengan dunia
internasional adalah rumah tangga mengimpor barang dan jasa dari luar negeri
untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pada sektor perusahaan, kegiatan ekonomi
memiliki hubungan dengan rumah tangga yaitu perusahaan menghasilkan
produk-produk barupa barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dan
memberikan penghasilan dan keuntungan kepada rumah tangga barupa gaji, deviden,
sewa, upah, bunga. Sedangkan hubungan dengan pemerintah, perusahaan akan
membayar pajak kepada pemerintah dan menjual produk dan jasa kepada pemerintah.
Sedangkan hubungan dengan dunia internasional, perusahaan melakukan impor atas
produk barang maupun jasa dari luar negri.
Pada sektor pemerintah, kegiatan ekonomi
yang berhubungan dengan rumah tangga dimana pemerintah menerima setoran pajak
rumah tangga untuk kebutuhan operasional, pembangunan. Dan untuk hubungan dengan
perusahaan, pemerintah mendapatkan penerimaan pajak dari pengusaha dan
pemerintah membeli produk dari perusahaan berdasarkan dana anggaran belanja
yang ada. Pada sektor dunia internasional/luar negeri, dimana hubungan dengan
rumah tangga adalah dunia internasional menyediakan barang dan jasa untuk
kepentingan rumah tangga. dan untuk hubungan dengan perusahaan, dunia
internasional mengekspor produknya kepada bisnis-bisnis perusahaan.
2.
Jenis
Kebijakan Fiskal
Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat
dibedakan menjadi dua yaitu kebijakan fiskal ekspansif dan kebijakan fiskal
kontraktif. Kebijakan fiskal ekspansif adalah
suatu kebijakan ekonomi dalam rangka
mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah, pada saat munculnya kontraksional gap. Konstraksional gap adalah suatu kondisi dimana output
potensial (YF) lebih tinggi dibandingkan dengan output actual ( Y1). Pada saat
terjadi kontraksional gap ini kondisi perekonomian ditandai oleh tingginya
tingkat pengangguran dimana Uactual > Ualamiah.
Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan
pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output
(Y), adapun mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan
pajak (T) terhadap output adalah sebagai berikut, pada grafik (2.1) maka dapat
dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G) naik atau selisih
pajak (∆T) turun maka akan menggeser
kurva pengeluaran agregat keatas sehingga
pendapatan akan naik dari (Y1) menjadi (Yf).
Gambar
2.1. Kurva kebijakan fiskal ekspansif
Kebijakan fiskal kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan
menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli
masyarakat dan mengatasi inflasi. kebijakan pemerintah untuk membuat
pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus
dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas
(overheating) untuk menurunkan
tekanan permintaan. pada saat munculnya ekpansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (Yf)
lebih kecil dibandingkan dengan output Actual (Y1). Adapun mekanisme
penurunan pengeluaran pemerintah (G) ataupun kenaikan pajak (T) terhadap output
(Y) adalah sebagai berikut, secara grafik kebijakan fiskal kontraktif diagram
sebagai berikut:
Gambar
2.2. Kurva kebijakan fiskal kontraktif
Pada gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa disaat
pengeluaran pemerintah (∆G) turun atau selisih pajak (∆T) naik maka akan
menggeser kurva pengeluaran agregat kebawah sehingga Pendapatan akan turun dari (Y1)
menjadi (Yf).
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran
pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika
mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak
diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah
output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat
serta menurunkan output industri secara umum.
Dengan tetap mempertahankan asumsi bahwa pengeluaran investasi (I)
dan pengeluaran pemerintah (G) bersifat otonomus, maka pajak akan mempengaruhi
pengeluaran konsumsi melalui pengaruhnya terhadap fungsi konsumsi.
3. Pengaruh Pajak terhadap
Pendapatan Konsumsi
Pemerintah
menjalankan kebijakan fiskal jika ia menggunakan kekuasaannya untuk mempengarui
pengeluaran total baik secara langsung - dengan mengubah belanja barang dan
jasanya - maupun tidak langsung – dengan mengubah pendapatan diposabel anggota
masyarakat melalui pelabuhan tingkat perpajakan atau tunjangan (transfer outlays). Walaupun pengaruh fiskal
dari pemerintah-pemerintah pusat dan daerah sangat besar, kedua jenis
pemerintah daerah ini tidak dapat menjalankan kebijakan fisal yang sistematis
karena mereka tidak dapat mengalami defisit yang tanpa batas. Mereka harus
berusaha mengatasinya atau mereka akan kehilangan kredibilitas. Selama resesi
ekonomi, penerimaan negara menurun dan tunjangan penganggutan serta pengeluaran
untuk berbagai program lainnya meningkat sehingga terjadi defisit. Nilai defisit
biasanya dikendalikan dengan menaikkan pajak dan mengurangi pengeluaran.
Pengeluaran pemerintah dan kebijakan
perpajakan mempunyai tiga dampak utama dalam makro ekonomi yaitu dampak
pengeluaran (expenditure impact),
dampak financial (financial expenditure),
dan dampak penawaran (supply expenditure).
Misalakan pemerintah merancang program pembangunan jalan raya, kenaikan
pengeluaran secara langsung meningkatkan kegiatan ekonomi. Jika pemerintah
membiayai defisit yang terjadi dengan menjual obligasi kepada sektor swasta,
kekayaan sektor swasta akan naik, dan dampak financial ini akan meninmbulkan
dampak pengeluaran. Selanjutnya jalan baru tersebut akan menambah infrastruktur
perekonomian dan menaikkan potensi produksi, berarti akan menambah penawaran.
Serupa dengan hal tersebut, suatu pemotongan
pajak secara langsung akan meningkatkan pendapatan disposabel (pendapatan
setelah kena pajak) dan konsumsi sektor swasta. Hal itu pun akan memberikan
dampak finansial karena kenaikan defisit yang terjadi harus dibiayai. Akhirnya
pemotongan pajak tersebut akan merangsang orang untuk bekerja lebih giat dank
arena itu ia juga memberikan dampak dari sisi penawaran.
Ahli statistik pendapatan nasional kini mempunyai kerangka kerja sebagai berikut :
Sektor
|
Pengeluaran
|
Pendapatan
|
Rumah Tangga
|
C (konsumsi)
|
Yd (Pendapatan disposabel)
|
Perusahaan
|
Ir (realisasi investasi bersih)
|
O
|
Pemerintah
|
G (belanja barang dan jasa pemerintah)
|
T (seluruh pajak dikurangi pengeluaran tunjangan oleh pemerintah)
|
Sama dengan
|
Er (realisasi pengeluaran nasional)
|
Y (pendapatan nasional riil)
|
Dari kerangka kerja di atas jelas bahwa sektor
pemerintah sekarang termasuk dalam perkiraan. Pada sisi pengeluaran kita
tambahkan belanja barang dan jasa pemerintah. Dalam kaitannya dengan pembahasan
sekarang, tunjangan harus kita anggap sebagai pajak negeatif, tunjangan kita
masukkan di sisi kanan pada neraca karena iya berlaku seperti pajak dalam
membedakan pendapatan nasional dengan pendapat disposabel. Tunjangn tidak
merupakan pengeluaran terhadap barang dan jasa, tetapi seperti pajak, iya
mempengaruhi pendapatan disposabel dan mempengaruhi pengeluaran untuk konsumsi.
Secara metematik, pendapatan disposabel
adalah hasil pengurangan antara total pendapatan dengan pajak:
dimana :
Yd : Pendapatan setelah kena pajak
Y : Pendapatan sebelum kena pajak
T : Taxes
(pajak)
Pajak memberikan dampak yang besar terhadap jumlah pendapatan.
Semakin tinggi nilai pajak yang diberlakukan, maka akan mengurangi jumlah
pendapatan bersih. Dan sebaliknya jika nilai pajak yang berlaku semakin
menurun, maka jumlah pendapatan bersih akan meningkat. Realisasi pengeluaran
agregat sekarang sama dengan :
dan karena pendapatan disposabel dapat dikonsumsi dan ditabung, sisi
pendapatan dari sisi kanan perkiraan tersebut dapat dipecah menjadi :
Defenisi akuntansi mengharuskan Er = Y sehingga dengan
menyamakan kedua sisi perkiraan kita peroleh : Ȼ + Ir + G = Ȼ + S + T
Ir + G = S + T
Bagian
sebelah kiri dari persamaan di atas komponen-komponen non konsumsi dari
pengeluaran direncanakan, dan sering disebut “suntikan”. S + T di sisi kanan
adalah bagian Y yang tidak dikonsumsi. Dan umumnya disebut “bocoran” karena S
dan T adalah pendapatan yang tidak dibelanjakan. Keseimbangan mengharuskan
suntikan (injection) sama dengan
bocoran (leakages); jika tidak, aka
nada perbedaan antara pengeluaran direncanakan dnegan pendapatan, dan hal ini
akan menimbulkan pendapatan yang berubah.
|
atau
dalam
bentuk ini sisi kiri menunjukkan defisit anggaran pemerintah yang harus sama
dengan selisih antara tabungan swasta dan investasi yang diinginkan yang dewasa
ini sering disebut “surplus sektor swasta” karena ia setara dengan selisih
antara penghasilan disposabel sektor swasta dan pengeluaran swasta.
4. Pengaruh Pajak terhadap
Keseimbangan Ekonomi
Karena kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian
ke kondisi yang lebih baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan ekonomi harus
dipahami. Salah satu cara paling mudah melihatnya adalah dengan melihat
pengaruh pajak terhadap output keseimbangan
Pajak Anggaran
Dilihat dengan perbandingan nilai penerimaan (T) dan
pengeluaran (G), politik anggaran dapat dibedakan menjadi:
·
anggaran tidak berimbang,dan
·
anggaran berimbang.
Hasil yang dicapai dari kebijakan fiskal merupakan interaksi
(resultan) dari dampak pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap output
keseimbangan. Pengaruh perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perubahan
pendapatan keseimbangan seperti yang dibahas sebelumnya adalah :
∆Y
= ∆ G
Sedangkan pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah:
∆Y = - b ∆T
a. Anggaran Defisit (Deficit
Budget)
Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi
anggaran defisit (deficit budget) dan
anggaran surplus (surplus budget).
Anggaran defisit adalah anggaran yang memng direncanakan untuk defisit, sebab
pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah
(T<G atau G>T). Politik anggaran defisit, bisanya ditempuh bila
pemerintah ingin menstimulir pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan
bila perekonomian berada dalam kondisi resesi.
Dengan asumsi kondisi awal anggaran pemerintah adalah
anggaran berimbang (G = T), bila pemerintah menempuh anggaran defisit, maka ∆G
> ∆T, dimana ∆G > 0 dan ∆T > 0 . karena ∆G > 0 dan ∆G
> ∆T, maka jika pemerintah menempuh politik anggaran defisit, pemerintah
dianggap memilih kebijakan fiskal ekspensif.
∆Y karena ∆G = ∆
G
∆Y karena ∆T = - b ∆ T
Sehingga
total pengaruhnya (karena ∆G dan ∆T) adalah :
Y = ∆G
+ - b ∆T
= ∆G
- b ∆ T
Atau
∆Y = ∆G – b ∆T
b. Anggaran Surplus (Surplus
Budget)
Kebalika dari anggaran defisit, dalam anggaran surplus
pemerintah merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran (T>G atau
G<T). Atau dapat Juga dikatakan pemerintah menempuh politik anggaran
surplus, dimana ∆G < ∆T, dimana ∆G dan ∆T >0
c. Anggaran
Berimbang (Balance Budget)
Pemeirntah dikatakan menempuh politik anggaran berimbang
bila pengeluaran direncanakan sama dengan penerimaan ( G=T atau T=G)
∆Y
karena ∆G = ∆G
∆Y
karena ∆T = - b ∆T
5. Politik Anggaran
Proses
politik anggaran negara secara transparan melalui prosedur yang relatif panjang
menjadi piranti strategis yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kebijakan
fiskal. Sehingga, fungsi kebijakan fiskal dalam
penerapan RAPBN 2009 sangat bergantung pada pemahaman kolegial akan makna
penting perencanaan, pelaksanaan yang efektif, dan akuntabilitas
pertanggungjawaban keuangan negara.
Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam
sidang paripurna dengan agenda jawaban pemerintah terhadap pemandangan umum
fraksi-fraksi DPR tentang Nota Keuangan dan RAPBN 2009, Selasa (26/8), di
Jakarta. "Peranan strategis lain dari kebijakan fiskal merupakan
konsekuensi logis dari peningkatan tranparansi, demokratisasi, dan keterlibatan
seluruh elemen masyarakat terkait kebijakan anggaran negara," tutur Sri
Mulyani.
Dikatakan, pemerintah merancang pendapatan negara dan hibah dalam RAPBN
2009 mencapai Rp 1.022,6 triliun atau naik Rp 127,6 triliun (sekitar 14,3%)
dari sasarannya dalam APBN-P 2008.
Untuk belanja negara, direncanakan Rp 1.122,2 triliun atau naik
13,4% (setara Rp 132,7 triliun) dari pagu APBN-P 2008. Artinya, defisit anggaran
pada 2009 diperkirakan mencapai Rp 99,6 triliun atau sekitar 1,9% dari PDB.
6. Efektivitas Kebijakan
Fiskal
Krisis keuangan global menjadi
ancaman besar bagi upaya menciptakan pembangunan ekonomi yang berkarakter 3P (pro-growth, pro-job, dan pro-poor).
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2009 dapat mencapai 5% atau
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2008 yang diperkirakan mencapai
6,2%. Optimisme pemerintah memangkas laju pertumbuhan ekonomi yang relatif
moderat di tahun 2009 didasarkan atas dua alasan.
Pertama, adanya ruang gerak ekspansi
fiskal yang besar sebagai dampak dari sisa anggaran di tahun 2008 yang mencapai
Rp52,3 triliun. Kedua, pesta demokrasi (pemilihan anggota legislatif dan
presiden) yang diprediksi akan mampu mendorong permintaan dari berbagai sektor.
Disadari atau tidak,optimisme di tahun 2009 juga terlahir dari turunnya
ekspektasi inflasi yang menjadi semacam blessing
in disguise.
Sebagaimana diketahui, krisis global
akan menurunkan permintaan dunia untuk segala produk dan hal ini dapat menjadi
berita baik untuk meredam inflasi domestik yang berasal dari imported inflation
seperti turunnya harga minyak dunia, minyak sawit, dll.Turunnya laju inflasi
tidak hanya baik bagi tanda (signaling) turunnya suku bunga, tapi juga bagi
penduduk miskin ataupun mereka yang berada di batas garis kemiskinan.
a.
Stimulus Fiskal
Pemerintah juga telah menetapkan
empat strategi kebijakan untuk memperlunak dampak krisis global, yaitu
memperkuat ketahanan sektor keuangan, melakukan konsolidasi fiskal, memberikan
stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan sektor riil, dan mempercepat
pembangunan infrastruktur.
Dengan pertimbangan bahwa stimulus
fiskal merupakan “obat merah”, fokus kebijakan haruslah pada sisi meminimalkan
dampak krisis global terhadap naiknya angka kemiskinan dan pengangguran. Pemerintah
telah berencana memberikan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah
terhadap 17 industri dengan nilai Rp9 triliun lebih, tarif impor ditanggung
Rp2,4 triliun, belanja modal untuk infrastruktur yang mencapai paling tidak
Rp72 triliun, dan Rp4,9 triliun digunakan untuk biaya pembebasan lahan.
Dengan demikian, total biaya yang
dikeluarkan sebagai respons dari krisis sebesar Rp88,3 triliun. Bagian tersulit
dalam menjalankan stimulus fiskal adalah menjamin efektivitas kebijakan,
termasuk dalam hal ini kalkulasi akan kelompok mana yang mendapat keuntungan dan
kerugian (benefit and cost).
Dalam situasi krisis, stimulus
fiskal seyogianya dapat memperkecil ketimpangan dan kesenjangan pendapatan.
Demikian pula penetapan sektor prioritas menjadi agenda yang perlu dipikirkan
secara matang.Namun,hal ini jelas tidak mudah karena pengambil kebijakan
cenderung mengambil sikap akomodatif bagi semua sektor karena lebih minim
risiko, terutama dari aspek ekonomi politik.
b.
Pengangguran
Sebagaimana diketahui menurut data
BPS, hingga semester kedua tahun 2008, angka pengangguran terbuka masih
menunjukkan penurunan seiring dengan penciptaan lapangan kerja baru sebesar
2,62 juta orang antara Agustus 2007 dan Agustus 2008.
Hal ini mengindikasikan bahwa krisis
global belum berdampak negatif terhadap serapan tenaga kerja paling tidak
hingga medio 2008. Namun, angka setengah pengangguran menunjukkan peningkatan
hingga 2 juta orang dalam dua tahun terakhir ini. Hal ini menandakan bahwa
risiko naiknya angka pengangguran masih akan besar. Paling tidak ada tiga
alasan yang mendorong hal ini terjadi.
Pertama, turunnya pertumbuhan ekonomi
menandakan adanya penurunan kapasitas produksi nasional dan hal ini pasti akan
menambah angka pengangguran. Kedua,
tingginya angka pemutusan hubungan kerja akan memaksa intensitas pencarian
pekerjaan semakin besar, termasuk dalam hal ini pengangguran yang berada di
kelompok pengangguran sukarela. Ketiga,
pengangguran juga akan berasal dari kelompok pencari kerja baru yang sebelumnya
masuk kategori bukan angkatan kerja.
Sebagaimana diketahui, dalam dua
tahun terakhir ini, sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah
perdagangan dengan tingkat penciptaan kesempatan kerja mencapai 2 juta orang,
disusul jasa kemasyarakatan sebesar 1,74 juta.Pada sisi lain, sektor yang
merupakan kantong pengaman, yaitu sektor pertanian, hanya mampu menciptakan
kesempatan kerja baru sebanyak 190.000 orang. Dengan demikian fenomena pengangguran
terbesar akan dialami sektor jasa yang paling banyak menyerap tenaga kerja
dibandingkan dengan sektor pertanian dan industri.
c.
Kemiskinan
Terlepas dari banyaknya kelemahan
dari sisi pengukuran angka kemiskinan, terutama dari sisi pengukuran garis
kemiskinan, data BPS menunjukkan persentase penduduk miskin pada 2008 merupakan
angka terkecil sejak krisis ekonomi 1997/1998.Namun, pengukuran garis
kemiskinan berdasarkan angka USD1 dan USD2, memperlihatkan lonjakan angka
kemiskinan yang sangat besar.
Hal ini menandakan bahwa angka
kemiskinan di Indonesia sangat sensitif terhadap garis kemiskinan yang menjadi
basis. Demikian pula fenomena kemiskinan di Indonesia bercirikan tingginya
kelompok masyarakat yang rentan menjadi miskin. Pada sisi lain, masalah kemiskinan
nonpendapatan (non-income poverty)
lebih serius dibandingkan dengan kemiskinan pendapatan (income poverty).
Melihat kenyataan tersebut,
pengendalian tingkat harga dan peningkatan akses masyarakat terhadap
infrastruktur dasar,khususnya pendidikan dan kesehatan, menjadi obat mujarab
untuk lebih melindungi kelompok miskin dan rawan miskin.
Pada akhirnya efektivitas stimulus
kebijakan fiskal akan sangat tergantung pada tiga elemen, yaitu penekanan
lonjakan pengangguran di sektor jasa,pemberian bantuan langsung bagi kelompok
miskin,dan perbaikan infrastruktur dasar.
PENUTUP
Kebijakan fiskal
berfungsi untuk mengatur perokonomian Indonesia terutama dibidang, yaitu pajak
(tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Efektifitas
kebijakan ini berguna untuk mengatur dan mengendalikan GDP, inflasi, kurs, dan
suku bunga. Pengaturan fiskal secara tepat adalah suatu hal yang sangat sulit
karena memerlukan peramalan yang sangat akurat dan kesediaan bertindak cepat
berdasarkan ramalan tersebut. Banyak kebijakan fiskal yang berjalan secara
otomatis dan membantu menstabilkan perekonomian. Ketika perekonomian mengalami
kelesuan, penerimaan dari semua pajak akan menurun pula secara otomatis
sedangkan pengeluaran untuk tunjangan pengangguran, kesejahteraan dank upon
untuik pangan akan meningkat. Konsekuensinya adalah menurunnnya pendapatan sisa
pajak dan pasca pajak, namun tidak sebanyak dalam keadaan sebaliknya, dan hal
ini akan meredam efek penurunan konsumsi dan belanja investasi perusahaan dalam
suatu perekonomian, dengan cara tersebut efek pengangguran dapat diperkecil dan
resesi bisa diperingan.
DAFTAR PUSTAKA
Tambunan, Dr. Tulus
T.H.2001.”Perekonomian Indonesia.Jakarta.Ghalia Indonesia
Dernburg, Thomas F.
dan Karyaman Muschtar.1994.”Makro-Ekonomi:Konsep, Teori, dan
Kebijakan”.Jakarta.Erlangga.